1. Etiologi / Patogenesis
Etiologi dan
patogenesis preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih belum sepenuhnya
difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini
sering disebut “the disease of theories”. Pada saat ini hipotesis
utama yang dapat diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah :
faktor imunologi, genetik, penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah
trophoblast yang berlebihan dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast
terhadap arteri spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini
akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan
mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta. Berikutnya akan terjadi stress
oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan
trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.
2. Faktor Predisposisi Terjadinya
Preeklampsia dan Eklampsia
Primigravida,
kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial kronik, mola hidatidosa,
hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah menderita preeklampsia
atau eklamsia, riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau eklamsia,
lebih sering dijumpai pada penderita preeklampsia dan eklampsia.
3. Terminologi
Dahulu, disebut
pre eklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan darah ≥ 140/90
mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam
kriteria diagnostik, karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal.
Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastol ≥
90 mmHg digunakan sebagai pedoman.
Eklampsia
adalah pre eklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik klonik yang
bersifat umum. Koma yang fatal
tanpa disertai kejang pada penderita pre eklampsia juga disebut eklampsia.
Namun kita harus membatasi definisi diagnosis tersebut pada wanita yang
mengalami kejang dan kematian pada kasus tanpa kejang yang berhubungan dengan
pre eklampsia berat. Mattar dan Sibai (2000) melaporkan komplikasi – komplikasi
yang terjadi pada kasus persalinan dengan eklampsia antara tahun 1978 – 1998 di
sebuah rumah sakit di Memphis, adalah solutio plasentae (10 %), defisit
neurologis (7 %), pneumonia aspirasi (7 %),
edema pulmo (5 %), cardiac arrest (4 %), acute renal failure (4 %) dan kematian
maternal (1 %)
4. Gambaran Klinis Eklampsia
Seluruh kejang eklampsia didahului dengan pre
eklampsia. Eklampsia digolongkan menjadi kasus antepartum, intrapartum atau
postpartum tergantung saat kejadiannya sebelum persalinan, pada saat persalinan
atau sesudah persalinan. Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan
kejang biasanya dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah
wajah. Beberapa saat kemudian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot
yang menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang
bersamaan rahang akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini
akan terjadi pada kelopak mata, otot – otot wajah yang lain dan akhirnya
seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu
yang cepat. Keadaan ini kadang – kadang begitu hebatnya sehingga dapat
mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga.
Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot – otot rahang. Fase ini
dapat berlangsung sampai 1 menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot
menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya penderita tidak bergerak.
Setelah kejang
diafragma menjadi kaku dan pernafasan berhenti. Selama beberapa detik penderita
sepertinya meninggal karena henti nafas, namun kemudian penderita bernafas
panjang, dalam dan selanjutnya pernafasan kembali normal. Apabila tidak
ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang – kejang
berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai kejang yang
berkelanjutan yang disebut status epileptikus.
Setelah kejang
berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya koma setelah
kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita
biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun pada kasus –
kasus yang berat, keadaan koma berlangsung lama, bahkan penderita dapat
mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang,
kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan koma yang lama
bahkan kematian.
Frekuensi
pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai 50
kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis laktat,
tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat ditemukan sianosis.
Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabila hal tersebut
terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.
5. Komplikasi
Proteinuria
hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang – kadang
sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah persalinan urin
output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal perbaikan kondisi penderita.
Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu beberapa hari sampai 2 minggu
setelah persalinan. Apabila keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka
hal ini merupakan akibat penyakit vaskuler kronis.
Edema pulmo
dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi karena
pneumonia aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam
saluran nafas yang disebabkan penderita muntah saat kejang. Selain itu dapat
pula karena penderita mengalami dekompensasio kordis, sebagai akibat hipertensi
berat dan pemberian cairan yang berlebihan.
Pada beberapa
kasus eklampsia, kematian mendadak dapat terjadi bersamaan atau beberapa saat
setelah kejang sebagai akibat perdarahan otak yang masiv. Apabila perdarahan otak tersebut tidak fatal
maka penderita dapat mengalami hemiplegia. Perdarahan otak lebih sering
didapatkan pada wanita usia lebih tua dengan riwayat hipertensi kronis.
Pada kasus yang jarang perdarahan otak dapat disebabkan pecahnya
aneurisma Berry atau arterio venous malformation.
Pada kira – kira10 % kasus, kejang eklampsia dapat
diikuti dengan kebutaan dengan variasi tingkatannya. Kebutaan jarang terjadi
pada pre eklampsia. Penyebab kebutaan ini adalah terlepasnya perlekatan retina
atau terjadinya iskemia atau edema pada lobus oksipitalis. Prognosis penderita
untuk dapat melihat kembali adalah baik dan biasanya pengelihatan akan pulih
dalam waktu 1 minggu.
Pada kira- kira 5 % kasus kejang eklampsia terjadi
penurunan kesadaran yang berat bahkan koma yang menetap setelah kejang. Hal ini
sebagai akibat edema serebri yang luas. Sedangkan kematian pada kasus eklampsia
dapat pula terjadi akibat herniasi uncus trans tentorial.
Pada kasus yang jarang kejang eklampsia dapat diikuti
dengan psikosis, penderita berubah menjadi agresif. Hal ini biasanya
berlangsung beberapa hari sampai sampai 2 minggu namun prognosis penderita
untuk kembali normal baik asalkan tidak terdapat kelainan psikosis sebelumnya.
Pemberian obat – obat antipsikosis dengan dosis yang tepat dan diturunkan
secara bertahap terbukti efektif dalam mengatasi masalah ini.
6. Diagnosis Diferensial
Secara umum seorang wanita hamil aterm yang mengalami
kejang selalu didiagnosis sebagai eklampsia. Hal ini karena diagnosis
diferensial keadaan ini seperti, epilepsi, ensefalitis, meningitis, tumor otak
serta pecahnya aneurisma otak memberikan gambaran serupa dengan eklampsia.
Prinsip : setiap wanita hamil yang mengalami kejang harus didiagnosis sebagai
eklampsia sampai terbukti bukan
7. Prognosis
Eklampsia selalu menjadi masalah yang serius, bahkan
merupakan salah satu keadaan paling berbahaya dalam kehamilan. Statistik menunjukkan di Amerika
Serikat kematian akibat eklampsia mempunyai kecenderungan menurun dalam 40
tahun terakhir, dengan persentase 10 % - 15 %. Antara tahun 1991 – 1997 kira –
kira 6% dari seluruh kematian ibu di Amerika Serikat adalah akibat eklampsia,
jumlahnya mencapai 207 kematian. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa eklampsia
dan pre eklamsia berat harus selalu dianggap sebagai keadaan yang mengancam
jiwa ibu hamil.
8. Manajemen
Pritchard
(1955) memulai standardisasi rejimen terapi eklampsia di Parkland Hospital dan
rejimen ini sampai sekarang masih digunakan. Pada tahun 1984 Pritchard dkk
melaporkan hasil penelitiannya dengan rejimen terapi eklampsia pada 245 kasus
eklampsia. Prinsip – prinsip dasar pengelolaan
eklampsia adalah sebagai berikut :
- Terapi suportif untuk stabilisasi pada penderita
- Selalu diingat mengatasi masalah – masalah Airway, Breathing, Circulation
- Kontrol kejang dengan pemberian loading dose MgSO4 intravena, selanjutnya dapat diikuti dengan pemberian MgSO4 per infus atau MgSO4 intramuskuler secara loading dose didikuti MgSO4 intramuskuler secara periodik.
- Pemberian obat antihipertensi secara intermiten intra vena atau oral untuk menurunkan tekanan darah, saat tekanan darah diastolik dianggap berbahaya. Batasan yang digunakan para ahli berbeda – beda, ada yang mengatakan 100 mmHg, 105 mmHg dan beberapa ahli mengatakan 110 mmHg.
- Koreksi hipoksemia dan asidosis
- Hindari penggunaan diuretik dan batasi pemberian cairan intra vena kecuali pada kasus kehilangan cairan yang berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan. Hindari penggunaan cairan hiperosmotik.
- Terminasi kehamilan
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI telah membuat
pedoman pengelolaan eklampsia yang terdapat dalam Pedoman Pengelolaan
Hipertensi Dalam Kehamilan di Indonesia, berikut ini kami kutipkan pedoman
tersebut.
A. Pengobatan Medisinal
1. MgSO4
Initial dose :
- Loading dose : 4 gr MgSO4 20% IV (4-5 menit)
Bila kejang
berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan sekurang - kurangnya 20 menit
setelah pemberian terakhir. Bila setelah diberikan dosis tambahan masih tetap
kejang dapat diberikan Sodium Amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV perlahan-lahan.
- Maintenace
dose : MgSO4 1 g / jam intra vena
2.
Antihipertensi
Diberikan jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg. Dapat diberikan nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam,
jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg
sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam sesuai kebutuhan.
Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu agresif. Tekanan darah diastolik
jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah maksimal 30%. Penggunaan
nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat dan mudah
pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
3. Infus Ringer Asetat atau
Ringer Laktat.
Jumlah cairan
dalam 24 jam sekitar 2000 ml, berpedoman kepada diuresis, insensible water loss
dan CVP .
4. Perawatan pada serangan kejang :
Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.
Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut
penderita.
Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah
orofarynx.
Fiksasi badan
pada tempat tidur harus aman namun cukup longgar guna menghindari fraktur.
Pemberian oksigen.
Dipasang kateter menetap ( foley
kateter ).
5. Perawatan pada penderita koma :
Monitoring
kesadaran dan dalamnya koma memakai “Glasgow – Pittsburg Coma Scale “.
Perlu diperhatikan pencegahan
dekubitus dan makanan penderita.
Pada
koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso Gastric
Tube : Neus Sonde Voeding ).
6. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
- Edema paru
- Gagal jantung kongestif
- Edema anasarka
7. Kardiotonikum ( cedilanid )
jika ada indikasi.
8. Tidak ada respon terhadap
penanganan konservatif pertimbangkan seksio sesarea.
Catatan:
Syarat pemberian Magnesium
Sulfat:
·
Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu
Kalsium Glukonas 10%, diberikan iv secara perlahan, apabila terdapat tanda –
tanda intoksikasi MgSO4.
·
Refleks patella (+)
·
Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.
·
Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (
0,5 cc/ kg BB/ jam ). Pemberian Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu
mempertimbangkan diurese
B. Pengobatan Obstetrik :
1. Semua
kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan
keadaan janin.
2. Terminasi
kehamilan
Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan metabolisme
ibu, yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :
·
Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.
·
Setelah kejang terakhir.
·
Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.
·
Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).
3. Bila
anak hidup dapat dipertimbangkan bedah Cesar.
C. Perawatan Pasca Persalinan
Bila persalinan
terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana
lazimnya. Pemeriksaan laboratorium
dikerjakan setelah 1 x 24 jam persalinan. Biasanya perbaikan
segera terjadi setelah 24 - 48 jam pasca persalinan.
0 komentar:
Posting Komentar