BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila
adalah jati diri bangsa Indonesia, sebagai falsafah, ideologi, dan alat
pemersatu bangsa Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara,
dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh
Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi
karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti
keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta
warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
B. Tujuan dan Manfaat
1. Untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila.
2. Untuk
mengetahui kaitan antara Pendidikan Pancasila dengan pembentukan karakter
bangsa yang pancasilais di kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia itu sendiri.
C. Metode Penulisan
1. Metode
pengambilan data dari sumber-sumber bacaan.
2. Mencari
bahan dari internet.
3. Mengumpulkan informasi
D. Sistematika Penulisan
Di
dalam makalah ini, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
1. Pendahuluan
2. Pembahasan
3. Penutup
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENDIDIKAN
PANCASILA
Pada
hakekatnya pendidikan pancasila adalah upaya sadar diri suatu masyarakat dan
pemerintah suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan
generasi penerusnya, selaku warga masyarakat, bangsa dan Negara secara berguna
(berkaitan dengan kemampuan spiritual) dan bermakna (berkaitan dengan kemampuan
kognitif dan psikomotorik) serta mampu mengantisipasi hari depan mereka yang
senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa,
Negara, dan hubungan internasionalnya.
Berdasarkan
UU no. 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pasal 2 menyatakan
bahwa “ pendidikan Nasional Berdasarkan pancasila dan UUD 1945 ”.
B.
JATI
DIRI, KARAKTER, DAN KEPRIBADIAN
Jati
diri adalah ”diri yang sejati/sejatinya diri”. Secara budaya adalah ”ciri
bawaan sejak lahir/merupakan fitrah” yang menunjukkan siapa sebenarnya diri
kita secara ”fisik maupun psikologis”, bersifat bawaan sejak lahir (gift), serta merupakan sumber dari
watak/karakter dan totalitas kepribadian seseorang.
Karakter
adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of
behavior found in an individual or group’. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum
memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai
sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi
pekerti; tabiat. Dalam risalah ini, dipakai pengertian yang pertama, dalam arti
bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’,
bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral
(tertentu) yang positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara
implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau
berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif
atau yang buruk.
Peterson
dan Seligman, dalam buku ’Character
Strength and Virtue’, mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang
membangun kebajikan (virtues). Salah
satu kriteria utama dari Iadalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar
dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun
kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam
kaitannya dengan kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis
karakter.
Kepribadian,
merupakan penampilan (lebih ke psikologis) seseorang yang terpancar dari
karakter. Namun penampilan ini belum tentu mencerminkan karakter yang
bersangkutan, karena dapat saja tertampilkan sangat bagus tetapi didorong oleh
”kemunafikan”. Dengan demikian untuk mengenal seseorang secara lengkap
diperlukan waktu, karena yang terpancar sebagai lingkaran terluar adalah
kepribadian yang bisa mengecoh, sementara lingkaran kedua adalah karakter dan
lingkaran terdalam adalah jatidirinya.
C.
BEBERAPA
MANIFESTASI KRISIS KARAKTER PANCASILAIS DI INDONESIA
Dalam
kasus Indonesia, krisis karakter Pancasilais, mengakibatkan bangsa Indonesia
kehilangan kemampuan untuk mengerahkan potensi masyarakat guna mencapai
cita-cita bersama. Krisis karakter ini seperti penyakit akut yang terus menerus
melemahkan jiwa bangsa, sehingga bangsa kita kehilangan kekuatan untuk tumbuh
dan berkembang menjadi bangsa yang maju dan bermartabat di tengah-tengah bangsa
lain di dunia.
Krisis
karakter Pancasilais di Indonesia tercermin dalam banyak fenomena sosial
ekonomi yang secara umum dampaknya menurunkan kualitas kehidupan masyarakat
luas. Korupsi, mentalitas peminta-minta, konflik horizontal dengan kekerasan,
suka mencari kambing hitam, kesenangan merusak diri sendiri, adalah beberapa
ciri masyarakat yang mengalami krisis karakter Pancasilais.
Korupsi,
korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk
bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa
ini, dan pada gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di
Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu
negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat
di tengah-tengah bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan
beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab social.
Kesenangan
merusak diri sendiri. Di samping korupsi, memudarnya karakter Pancasilais di
Indonesia ditunjukkan oleh meningkatnya ‘kesenangan’ dari sebagian warganya
terlibat dalam kegiatan atau aksi aksi yang berdampak merusak atau menghancurkan
diri bangsa kita sendiri (act of self
distruction). Ketika bangsa-bangsa lain bekerja keras mengerahkan potensi
masyarakatnya untuk meningkatkan daya saing negaranya, kita di Indonesia
sebagian dari kita malah dengan bersemangat memakai energi masyakat untuk
mencabik-cabik dirinya sendiri, dan sebagian besar yang lain terkesan
membiarkannya. Memecahkan perbedaan pendapat atau pandangan dengan menggunakan
kekerasan, secara sistematik mengobarkan kebencian untuk memicu konflik
horizontal atas dasar SARA, dan menteror bangsa sendiri adalah beberapa bentuk
dari kegiatan merusak diri sendiri. Ini terjadi karena makin memudarnya
nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup semangat dan kesediaan untuk bertumbuhkembang
bersama, secara damai, dalam kebhinekaan.
Hipokrisi
atau Kemunafikan. Di atas telah disampaikan bahwa Indonesia dipandang sebagai
salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia. Namun, di pihak
lain masyarakat Indonesia nampaknya adalah masyarakat yang sangat rajin
melakukan kegiatan keagamaan. Bahkan tidak jarang orang Indonesia membanggakan diri
sebagai masyarakat yang hidupnya sangat religius, dan sepanjang yang saya
ketahui, tindakan korupsi, atau mengambil yang bukan haknya atau milik orang
lain, seperti juga mencuri, dilarang oleh semua agama. Sungguh sebuah
‘keganjilan’ bahwa masyarakat yang merasa riligius namun negaranya penuh
korupsi. Lebih memprihantinkan lagi adalah bahwa menurut salah seorang penjabat
KPK, lembaga negara yang paling korup adalah Departemen Agama. Apabila
pernyataan tersebut didasarkan pada data yang dapat dipercaya, maka hal ini
adalah contoh yang paling nyata dari hipokrisi di Indonesia, di samping sekian
banyak contoh yang lain. Hipokrisi atau kemunafikan mengandung arti
kepura-puraan atau menyuruh atau menasihati orang lain melakukan hal yang baik
namun dia sendiri melakukan hal sebaliknya.
Mentalitas
makan siang gratis. Berkembangnya mentalitas ‘makan siang gratis’, adalah
fenomena lain yang menunjukkan krisis karakter. Ini adalah sikap mental yang
memandang bahwa kemajuan bisa diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras, bisa
dicapai dengan menandahkan tangan dan dengan menuntut kekiri dan kekanan..
Kesenangan mencari kambing hitam. Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang
lain, merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan. Ini bukan
kekuatan, namun kelemahan. Di masa lalu kita masih sering mendengar banyak
orang menyatakan bahwa sulitnya Indonesia mencapai kemajuan lama sesudah
kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda. Dalam mencari penyebab
rusaknya ekonomi Indonesia sekarang kita punya kambing hitam baru, konpirasi
Amerika Serikat, IMF, World Bank, dan akibat dominasi golongan minoritas.
Seandainya sinyalemen itu benar, sebenarnya ada cara bertanya yang lain: ’Apa
yang salah dengan bangsa kita yang menyebabkan kita beratus-ratus tahun bisa
dijajah oleh Belanda -kerajaan yang sangat kecil dari jumlah penduduk dan luas
wilayah; bisa menjadi korban konspirasi Amerika Serikat, IMF dan World Bank,
dan kelompok mayoritas belum bisa menguasai sebagaian besar kegiatan ekonomi di
Indonesia? Pertanyaan terakhir ini jarang sekali dikemukakan, karena adanya
arogansi bahwa ’kami selalu benar’. Akibatnya, bangsa kita kurang bisa belajar
dari pengalamannya sendiri, dan kurang mampu berubah ke arah yang lebih baik
karena merasa bahwa tak ada yang perlu diperbaiki pada diri kita.
D.
MEMBENTUK
KARAKTER BANGSA PANCASILAIS LEWAT PENDIDIKAN
Aspek
pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk karakter Pancasilais bangsa.
Dengan mengukur kualitas pendidikan, maka kita dapat melihat potret bangsa yang
sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang menentukan masa depan seseorang,
apakah dia dapat memberikan suatu yang membanggakan bagi bangsa dan dapat
mengembalikan jati diri bangsa atau sebaliknya. Pendidikan seperti apa yang
diberikan agar anak didik memiliki karakter bangsa dan mampu mengembalikan jati
diri bangsa dan mampu membentuk elemen-elemen dalam core values? Apakah masalah yang terdapat dalam otoritas pelaksana
pendidikan di bangsa ini? Setidaknya ada empat faktor utama yang harus
diperhatikan: faktor kurikulum, dana yang tersedia untuk pendidikan, faktor
kelayakan tenaga pendidik, dan faktor lingkungan yang mendukung bagi
penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini terkait satu sama lain untuk
dapat menghasilkan SDM dengan karakter nasional yang mampu bersaing di era
global, yang akhirnya dapat mengembalikan jati diri bangsa.
Pada
masalah aspek otoritas pendidikan, anak didik sebetulnya hanya ditekankan pada
sapek kognitif saja. Akibatnya adalah anak didik yang diberi materi pelajaran
hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan apa yang didapatkannya, tanpa
memahami apa yang mereka pelajari apalagi menerapkannya pada kehidupan
sehari-hari. Padahal aspek yang lainnya, seperti afektif dan psikomotorik
adalah hal penting yang harus didik. Karena institusi pendidikan seharusnya
dapat membuat anak didik menerapkan apa yang diajari, karena sesungguhnya
itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan. Apakah anak didik di bangsa ini hanya
akan menjadi ‘manusia robot’ yang tidak memiliki rasa toleransi dan apatis pada
kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti ini dapat mengembalikan
jati diri bangsa?
Kita
tidak tahu standar apa yang dipakai dalam otoritas pendidikan di negara ini,
yang akhirnya anak didik yang dihasilkan dari institusi pendidikan di negara
ini tidak banyak yang mampu untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang mereka
dapatkan di tempat pendidikannya, apalagi untuk mengajarkannya pada orang lain.
Penanaman karakter Pancasilais anak didik dengan mengabaikan aspek afektif dan
psikomotorik tidak akan berhasil menghasilkan generasi penerus yang memberikan
dampak positif bagi bangsa.
Mungkin
memang nilai di atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan memuaskan, akan
tetapi ketika anak didik tidak mampu menerapkan ilmu yang mereka dapatkan apa
gunanya ilmu yang mereka punya? Otoritas pendidikan harus menerapkan
aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO,
yaitu belajar untuk tahu (learn to know),
belajar untuk berbuat (learn to do),
belajar untuk menjadi diri sendiri (learn
to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan
maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa
maupun bagi seluruh dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa
aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu
yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat mengembalikan
jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.
Banyaknya
faktor atau media yang mempengaruhi pembentukan karakter Pancasilais ini
menyebabkan pendidikan untuk pengembangan karakter bukan sebuah usaha yang
mudah. Secara normatif, pembentukan atau pengembangan karakter Pancasilais yang
baik memerlukan kualitas lingkungan yang baik juga. Dari sekian banyak faktor
atau media yang berperan dalam pembentukan karakter, dalam risalah ini akan
dilihat peran empat media yang saya yakini sangat besar pengaruhnya yaitu:
keluarga, media masa, lingkungan sosial, dan pendidikan formal.
Keluarga
adalah komunitas pertama di mana manusia, sejak usia dini, belajar konsep baik
dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di
keluargalah seseorang, sejak dia sadar lingkungan, belajar tata-nilai atau
moral. Karena tata-nilai yang diyakini seseorang akan tercermin dalam
karakternya, maka di keluargalah proses pendidikan karakter Pancasilais berawal.
Pendidikan di keluarga ini akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam
prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai
moral tertentu seperti kejujuran, kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan
bagaimana dia melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak
sama dengan dia –berbeda status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda
ras, berbeda latar belakang budaya. Di keluarga juga seseorang mengembangkan
konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup ini atau pandangan mengenai apa
yang dimaksud dengan hidup yang berhasil, dan wawasan mengenai masa depan.
Dari
sudut pandang pentingnya keluarga sebagai basis pendidikan karakter Pancasilais,
maka tidak salah kalau krisis karakter yang terjadi di Indonesia sekarang ini
bisa dilihat sebagai salah satu cerminan gagalnya pendidikan di keluarga. Korupsi
misalnya, bisa dilihat sebagai kegagalan pendidikan untuk menanamkan dan
menguatkan nilai kejujuran dalam keluarga. Orang tua yang membangun
kehidupannya di atas tindakan yang korup, akansangat sulit menanamkan nilai
kejujuran pada anak-anaknya. Mereka mungkin tidak menyuruh anaknya agar menjadi
orang yang tidak jujur, namun mereka cenderung tidak akan melihat sikap dan
perilaku jujur dalam kehidupan sebagai salah satu nilai yang sangat penting
yang harus dipertahankan mati-matian. Ini mungkin bisa dijadikan satu
penjelasan mengapa korupsi di Indonesia mengalami alih generasi.Ada pewarisan
sikap permisif terhadap korupsi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Media masa. Dalam era kemajuan
teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, salah satu faktor yang
berpengaruh sangat besar dalam pembangunan atau sebaliknya juga perusakan
karakter Pancasilais masyarakat atau bangsa adalah media massa, khususnya media
elektronik, dengan pelaku utamanya adalah televisi. Sebenarnya besarnya peran
media, khususnya media cetak dan radio, dalam pembangunan karakter Pancasilais
bangsa telah dibuktikan secara nyata oleh para pejuang kemerdekaan. Bung Karno,
Bung Hattta, Ki Hajar Dewantoro, melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan
karakter bangsa yang Pancasilais melalui tulisan-tulisan di surat kabar waktu
itu. Bung Karno dan Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan, keberanian dan
persatuan melalui radio. Mereka, dalam keterbatasannya, memanfaatkan secara
cerdas dan arif teknologi yang ada pada saat itu untuk membangun karakter
bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri bangsa, keberanian, kesediaaan
berkorban, dan rasa persatuan. Sayangnya kecerdasan dan kearifan yang telah
ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan media massa untuk kepentingan
bangsa makin sulit kita temukan sekarang. Media massa sekarang memakai
teknologi yang makin lama makin canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan,
media massa yang didukung teknologi canggih tersebut justru akan melemahkan
atau merusak karakter bangsa. Saya tidak ragu mengatakan, media elektronik di
Indonesia , khususnya televisi, sekarang ini kontribusinya ’nihil’ dalam
pembangunan karakter bangsa. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak
ada program televisi yang baik. Namun sebagian besar program televisi justru
lebih menonjolkan karakter buruk daripada karakter baik. Sering kali pengaruh
lingkungan keluarga yang baik justru dirusak oleh siaran media televisi. Di
keluarga, anak-anak dididik untuk menghindari kekerasan, namun acara TV justru
penuh dengan adegan kekerasan. Di rumah, anak-anak dididik untuk hidup
sederhana, namun acara sinetron di tevisi Indonesia justru memamerkan
kemewahan. Di rumah anak-anak dididik untuk hidup jujur, namun tayangan di
televisi Indonesia justru secara tidak langsung menunjukkan ’kepahlawanan’
tokoh-tokoh yang justru di mata publik di anggap ’kaisar’ atau
’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa membicarakan
keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik, namun acara televisi, khususnya
infotainment, penuh dengan gosip. Bapak dan ibu guru di sekolah mendidik para
murid untuk berperilaku santun, namun suasana sekolah di sinetron Indonesia
banyak menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan melecehkan guru. Secara
umum, banyak tayangan di televisi Indonesia, justru ’membongkar’ anjuran
berperilaku baik yang ditanamkan di rumah oleh orang tua dan oleh para guru di
sekolah.
Pendidikan
formal. Pendidikan formal, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, diharapkan
berperan besar dalam pembangunan karakter. Lembaga-lembaga pendidikan formal
diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun demikian pengalaman
Indonesia selama empat dekade terakhir ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi dengan cara-cara pendidikan yang dilakukannya sekarang
belum banyak berkontribusi dalam hal ini. Di atas telah diuraikan,
kecenderungan lembaga pendidikan formal yang merosot hanya menjadi
lembaga-lembaga pelatihan adalah salah satu sumber penyebabnya. Pelatihan
memusatkan perhatian pada pengembangan keterampilan dan pengalihan pengetahuan.
Sedangkan pendidikan mencakup bahkan mengutamakan pengembangan jati diri atau
karakter, tidak terbatas hanya pada pengalihan pengetahuan atau mengajarkan
keterampilan. Harus diakui bahwa pendidikan formal di sekolah-sekolah di
Indonesia, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, secara umum menghabiskan
bagian terbesar waktunya untuk melakukan pelatihan daripada pendidikan.Kegiatan
pendidikan telah teredusir menjadi kegiatan ’mengisi’ otak para siswa
sebanyak-banyaknya, dan kurang perhatian pada perkembangan ’hati’ mereka. Keberhasilan
seorang guru diukur dari kecepatannya ’mengisi’ otak para siswanya. Sekolah
menjadi ’pabrik’ untuk menghasilkan orang-orang yang terlatih, namun belum
tentu terdidik.
Namun
demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek pendidikan sama sekali
terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan dikembangkan juga berbagai
keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja tidak dengan sendirinya
berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada lembaga yang secara resmi
diberi nama lembaga pendidikan, seperti universitas, institut teknologi, dan
yang lainnya.
Di pihak lain, seorang pelatih yang
bermutu dapat dengan cerdas memakai kegiatan pelatihan menjadi kendaraan
efektif untuk pendidikan. Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan pelatihan
untuk menumbuhkan dan menguatkan sikap sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan
berbagi, berlapang dada dalam kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan.
Masalah kita sekarang, tanpa disadari sudah terjadi degradasi proses-proses dan
program-program yang dimaksudkan untuk pendidikan menjadi proses dan program
pelatihan. Di pihak lain belum nampak tanda-tanda kegiatan pelatihan
dimanfaatkan secara optimal sebagai wahana untuk pendidikan.
E.
MANFAAT
PENDIDIKAN PANCASILA DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA PANCASILAIS
Pancasila
adalah jati diri bangsa Indonesia, sebagai falsafah, ideologi, dan alat pemersatu
bangsa Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan
pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh
Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi
karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti
keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya,
serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
Sila
pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan
berbangsa dan bernegara yang implementasinya mewajibkan semua manusia Indonesia
harus ber-ketuhanan. Karena keberadaan Tuhan melingkupi semua wujud dan sifat
dari alam semesta ini, diharapkan manusia Indonesia dapat menyelaraskan diri
dengan dirinya sendiri, dirinya dengan manusia-manusia lain di sekitarnya,
dirinya dengan alam, dan dirinya dengan Tuhan. Keselarasan ini menjadi tanda
dari manusia yang telah meningkat kesadarannya dari kesadaran rendah menjadi
kesadaran manusia yang manusiawi.
Jadi, sila pertama Pancasila, yaitu tentang
Ketuhanan Yang Maha Esa, implikasinya manusia Indonesia secara ideal harus
mencapai tingkatan manusia yang sempurna, manusia yang dapat meleburkan dirinya
dengan Tuhan di dalam kehidupannya sekarang di dunia, atau dengan kata lain Insan
Kamil.
Dalam
rangka mewujudkan manusia yang sempurna ini harus melalui jalan yang terjal,
jalan ini memang benar-benar ada bukan semata-mata hanya khayalan saja. Ada
nama atau sebutannya pasti ada wujudnya, dan ada manusia yang sudah pernah
mencapainya. Siapa mereka? Mereka merupakan manusia yang suci yang kalau di
Islam biasa disebut Wali Yullah, atau dalam agama lain disebut Budha atau Dewa
dan lain sebagainya.
Sebelum
mencapainya kita terlebih dahulu harus mengetahui karakter manusia yang
berkesadaran rendah atau binatang. Pada manusia yang berkesadaran rendah setiap
kualitas kerjanya akan berorientasi kepada kepentingan pribadi dan egonya,
mereka itu selalu dikuasai oleh segala sesuatu yang ada di muka bumi atau
segala sesuatu dari hasil kerjanya. Mereka tidak bisa memerdekakan dirinya dari
segala perbudakan, mereka adalah tipe budak, mereka egois, serakah, tamak,
jahil, jahat, berpikiran sempit dan lain-lain. Segala perbuatannya berorientasi
keuntungan untuk diri sendiri. Tidak ada kesadaran akan ketuhanan, yang ada
kelekatan akan segala sesuatu.
Karena
begitu liarnya sifat kebinatangan dan keiblisan di dalam dirinya maka mereka
itu sangat memerlukan suatu koridor hukum agar mereka dapat tertib dan
terkendali. Yang harus ditertibkan yaitu sifat atau perilaku liarnya. Ajaran
agama dan hukum-hukum yang lainnya sangat diperlukan untuk pengendalian diri. Gunanya
agar sifat liar tersebut menjadi tertib. Kalau sudah tertib sifat liarnya maka
mereka akan mudah mengendalikan diri dan dapat mengoptimalkan kemampuan
dirinya, dan mereka dapat meningkat ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi
yaitu manusia yang manusiawi.
Yang
tercantum sebagai sila pertama Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan
agama. Jika agama dicantumkan sebagai sila pertama, pasti keadaan menjadi kacau
karena banyak penganut agama dan penganut kepercayaan yang menjadi ribut
menginginkan agama atau kepercayaannya dijadikan sebagai landasannya sehingga
menimbulkan pandangan yang sempit.Akibatnya, kekacauan terjadi di mana-mana dan
tidak ada kesatuan.
Semua
agama di mata Tuhan adalah sama adanya, tetapi di dalam pandangan manusia tidak
sama karena agama adalah aturan atau sarana pengendalian yang di dalamnya
mengandung hak dan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan di dalam
kehidupan masing-masing penganutnya. Karena itu, manusia harus memilih dari
sekian banyak agama sebagai aturan yang harus ditaati dan dijalankan dalam
kehidupannya sendiri. Tidak boleh mengimani semua agama karena tidak akan dapat
melaksanakan semua ajarannya. Harus memilih salah satu dari agama dan
kepercayaan yang ada.
Semua
agama baik dan benar jika para penganutnya dapat meningkatkan kesadarannya dari
manusia yang berkesadaran rendah, naik menjadi manusia yang manusiawi atau
kesadaran manusia, lalu naik ke tingkat "Kesadaran Ketuhanan".
Apabila manusia meyakini suatu ajaran agama, tetapi ternyata mereka tidak
meningkat kesadarannya malahan mereka tetap berada dalam kesadaran rendah,
bahkan lebih rendah lagi maka yang salah bukan ajaran agamanya, melainkan para
penganutnya yang salah kaprah atau salah dalam pemahamannya sehingga tidak ada
perubahan kebaikan dalam kehidupannya, mereka itu merupakan manusia yang sesat.
Pada
kondisi saat ini perilaku para pengikut ajaran agama memperlihatkan rendahnya
kondisi kesadaran mereka. Mereka menyempitkan ruang lingkup agama itu sendiri
dan mereka mengkotak-kotakkannya. Itu semua menjadikan mereka lebih buas dan
sadis, mereka berpandangan sempit, kadang-kadang menyesatkan. Karena adanya
kedangkalan akan ketuhanan maka mereka mudah sekali dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan dari luar dan mereka mudah sekali diadu domba dan diperdaya
oleh orang lain.
Zaman
dahulu orang jahiliyah berperilaku kejam dan sadis karena belum ada agama yang
masuk ke dalam dirinya. Sekarang meskipun agama masuk dan sudah ribuan tahun
usia agama, kualitas dirinya bukannya lebih baik melainkan sebaliknya lebih
jahiliyah dari sebelumnya. Ini menandakan bahwa setiap penganut agama
memerlukan pembimbing yang sudah menyatu dengan Tuhan agar mereka mendapatkan
pencerahan dari apa yang mereka anut.
Terlalu
panjangnya rentang waktu antara kita dan penyebar agama menjadikan pandangan
terhadap agama pun berubah.Untuk menghindari agar ajaran agama tidak
menyimpang, kita memerlukan pembimbing yang sempurna. Apakah ada? Ya, pasti
ada. Hanya, bagaimana kita dapat mengetahui keberadaan mereka bila hati kita
buta, dan kita masih tertidur lelap dalam kebodohan dan ketidaksadaran. Biarpun
mereka ada di depan kita, kita tidak dapat mengetahuinya, kecuali kalau kita
sudah terbangun dari kesadaran rendah, hati yang buta dapat melihat kembali.
Dengan sendirinya kita dapat menyaksikan pembimbing sempurna tadi di dalam
hidupnya.
Mengapa
dalam sila pertama Pancasila harus berketuhanan dulu? Tanpa ketuhanan semua
menjadi mati tidak hidup karena Tuhan merupakan hidup itu sendiri ! Sekarang
orang beragama tanpa ketuhanan maka agamanya menjadi mati tidak berjiwa, dan
mereka akan berubah menyembah agama bukan menyembah Tuhan, atau primodial
sempit. Kalau semua pemeluk agama sudah menyadari tentang ketuhanan
masing-masing, tidak ada lagi pertentangan karena pertentangan itu hanya ada di
kelompok bawah atau kesadaran rendah, dalam tataran kelompok "Kesadaran
Ilahi" sudah tidak ada pertentangan dalam segala sesuatunya. Dengan Sila
Ketuhanan sebagai sila pertama maka tidak ada lagi pertentangan antara satu
dengan yang lain mengenai Tuhan yang melingkupi seluruh alam semesta ini.
Kalau
sudah banyak jumlah penduduk Indonesia yang sudah ber-ketuhanan dalam tataran
manusia yang manusiawi maka Pancasila sudah bisa menjadi pemersatu seluruh
bangsa Indonesia, dan Indonesia sudah masuk dalam keadaan pencerahan dan
kemakmuran.
Kalau
kesadaran rendah yang menguasai rakyat Indonesia dan pemimpinnya maka keadaan
Indonesia seperti hutan rimba. Rakyat dan pemimpin semua binatang (badannya
manusia tetapi di dalamnya berisi sifat binatang) maka tidak akan ada kemakmuran
atau kesejahteraan rakyat.
Oleh
karena itu, pembangunan Indonesia harus mengarah kepada kesempurnaan manusia
dan harus dapat memanusiakan manusia, bukan membangun secara fisiknya saja
tetapi juga harus berdampak pada kualitas manusia dan merubah peradaban
manusianya maka bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat tinggal manusia
(surga dunia), bukan tempat bagi manusia jadi-jadian.
Pada
saat ini pembangunan fisik, teknologi, dan ilmu pengetahuan di dunia telah maju
pesat, tetapi kondisi manusia menjadi jauh sekali dari kondisi manusia yang
sempurna kemanusiaanya. Kita sekarang menjadi robot-robot hidup yang penuh
dengan ketakutan-ketakutan yang diakibatkan oleh penemuan manusia itu sendiri,
tidak mengarah kepada kedamaian dan ketenangan yang dibutuhkan dan diinginkan
oleh manusia yang sudah sadar. Mereka tidak tahu arah hidupnya, mereka menjadi
budak-budak konsumsi dari apa yang mereka ciptakan sendiri, yang akhirnya hati
mereka mati. Mereka terlalu mempertuhankan apa yang mereka ciptakan, mereka
terlalu diperbudak oleh otak kiri (akalnya) mereka. Mereka tidak mempergunakan
kemampuan otaknya secara sempurna, yaitu menggunakan otak kiri, otak kanan dan
bawah sadar, serta kekuatan hati nurani. Karena kebimbangan serta stress yang
berkepanjangan, mereka tidak dapat menemukan jati dirinya. Diri mereka selalu
dihubungkan dan dilekatkan dengan dunia luar. Semua yang ada di luar dirinya menjadi
melekat dan memperbudak mereka, mereka menjadi budak dan terpenjara
selama-lamanya.
Oleh
karena, itu kita harus berani merubah tatanan yang sudah mapan dalam kegelapan
dan kebodohan ini. Bangun dan sadar dari apa yang mereka sadari, bangkitkan
kemampuan mereka, cukup dengan satu orang yang sudah sampai ke dalam kesadaran
ketuhanan, dia dapat menggunakan kekuatannya untuk membangunkan manusia yang
terlena dalam kegelapan.
Jadi,
sila pertama dalam Pancasila merupakan pengikat dan pemersatu bangsa serta
harus diresapi dan dijalankan serta diraih dalam kehidupan manusia sekarang
ini. Baik secara pribadi, kemasyarakatan maupun dalam bernegara.Jika semua
kehidupan manusia Indonesia dijiwai dan dilandasi oleh sifat ketuhanan maka
negara pun akhirnya menjadi berlandaskan ketuhanan. Kalau semua lini kehidupan
berdasarkan ketuhanan maka kemakmuran dan keharmonisan dengan alam sudah
menjadi milik bangsa Indonesia, dengan sendirinya bangsa Indonesia akan adil
dan makmur serta menjadi mercu suar dunia.
Untuk
menjalankan sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ketiga Persatuan
Indonesia, sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan / Perwakilan, serta sila kelima Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia, semua ini dapat dilakukan jika manusia Indonesia
meningkat sampai ke tingkat kesadaran manusia yang manusiawi. Jika manusia
Indonesia masih belum berketuhanan maka sila-sila tersebut tidak dapat di
jalankan karena mereka masih dalam kesadaran rendah dengan sendirinya mereka
masih terpenjara oleh nafsu, ego, dan sifat-sifat rendah lainnya, tidak mungkin
memikirkan orang lain, yang dipikir hanya dirinya sendiri saja.
Hanya
manusia yang sudah berketuhananlah yang dapat melaksanakan sila-sila Pancasila
dengan sebenar-benarnya.Inilah yang terpenting dalam bermasyarakat dan
bernegara di Republik Indonesia, sebagai azas yang melandasi segala sendi kehidupan
masyarakat Indonesia.
Pancasila
diharapkan sebagai jalan hidup yang akan dapat mengatasi masalah yang paling
mendasar dihadapi bangsa Indonesia, di samping Pancasila itu sendiri digunakan
untuk menjawab persoalan-persoalan pembangunan, ketertiban dan keamanan. Dengan
begitu Pancasila akan dapat pula tetap menjadi falsafah dan ideologi bagi masyarakat
Indonesia yang moderen.
Secara
kreatif dan dinamis, Pancasila mampu memadukan antara aspirasi masa depan,
menyelesaikan masa kini dan memberi harga pada masa lalu. Perjalanan sejarah
membuktikan Pancasila mampu memberikan dasar yang kokoh bagi kesatuan dan
persatuan bangsa.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan
Pancasila sangat bermanfaat dalam membangun karakter bangsa Indonesia yang
Pancasilais. Karena dengan mempelajari pendidikan pancasila dapat menimbulkan
kesadaran dalam diri manusia itu sendiri, karena sesungguhnya pembangunan
Indonesia harus mengarah kepada kesempurnaan manusia dan harus dapat
memanusiakan manusia, bukan membangun secara fisiknya saja tetapi juga harus
berdampak pada kualitas manusia dan merubah peradaban manusianya maka bumi
Indonesia menjadi layak sebagai tempat tinggal manusia (surga dunia), bukan
tempat bagi manusia jadi-jadian.
B. Saran
Dalam
membangun karakter bangsa Pancasilais sebaiknya dengan menerapkan nilai-nilai
yang terkandung pada pancasila karena jika suatu bangsa dapat mengamalkannya
maka akan terbentuk suatu bangsa berkarakter tangguh serta akan diperoleh Negara
yang aman dan sejahtera.